Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah yang terus bersinar menjadi primadona bagi wisatawan asing maupun nusantara. Keindahan alam yang terbentang luas dan terbentuk oleh 15 (lima belas) gugusan pulau, berpadu dengan keanekaragaman suku, budaya, adat-istiadat dan agama warisan mulia para leluhur,
seakan memberi pesan kuat bahwa setiap wisatawan, baru dapat berkata telah mengelilingi dunia, jikalau ia telah menjamah setiap destinasi wisata Negeri Seribu Moko. Betapa tidak, daerah yang dijuluki “The Heaven On Earth” (Surga di Dunia) di belahan timur Indonesia ini tidak hanya memiliki kekayaan bahari melimpah terutama Suaka Alam Perairan Selat Pantar sebagai Spot Diving populer karena kekuatan daya pikat menakjubkan, dan tebaran situs bersejarah yang menyimpan sejuta misteri, Kabupaten Alor juga memiliki potensi unggulan terbaru yakni Dugong karena kemampuan menangkap bahasa manusia dan bahkan beradaptasi dengan setiap wisatawan, ketika dipanggil di tengah lautan. Itulah sebabnya, jika Bupati Alor, Drs. Amon Djobo mengidentikan Alor sebagai Tanah Terjanji, Bumi Persaudaraan, Surga di Timur Matahari.
Dugong bagi masyarakat setempat diidentikkan dengan Duyung atau sejenis Putri Laut. Proses interaksi yang sarat tantangan itu, dilakukan dengan cara unik termasuk menggunakan symbol dan tuturan adat untuk membangun ikatan batin yang kuat, sampai akhirnya bertemu dengan lembaga pecinta lingkungan yakni WWF Indonesia Lesser Sunda Sub Sea Scape – Alor pada Tahun 2015. Berkat dukungan WWF, masyarakat lokal semakin menyadari pentingnya memperjuangkan kedaulatan alam melalui program Konservasi Duyung dan Lamun (DSCP) Alor utamanya mempertahankan keberadaan padang lamun, sebagai sumber pakan utama Dugong. Beberapa pelatihan, monitoring dan insentif, diberikan untuk mendukung kegiatan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dan Badan Usaha Milik Desa. Kegiatan berkolaborasi dengan lembaga perguruan tinggi berbasis
lokal seperti Universitas Tribuana Kalabahi maupun nasional, Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Alor, LSM dan instansi terkait lainnya termasuk tour operator lokal, untuk keberlanjutan pengawasan pesisir dan bisnis ekowiata. Riset Dugong sendiri telah dilakukan di Kabola pada Tahun 2016 dan di Munaseli Kecamatan Pantar yang juga merupakan habitat Dugong, pada Tahun 2017.
Kegigihan om One, peraih penghargaan bidang lingkungan hidup tingkat Provinsi NTT Tahun 2015, disertai dukungan positif masyarakat setempat untuk melestarikan dan memperkenalkan Dugong kepada publik yang dimulai bersama WWF Alor, telah menjadi permata kehidupan bagi Kabupaten Alor,
membangun interaksi dengan Dugong, keduanya sama-sama memiliki keteguhan hati untuk menjadikan Dugong sebagai sahabat layaknya ternak peliharaan. Adolof menuturkan bahwa pertama kali melihat Dugong yakni pada akhir Tahun 1999, tepatnya disaat ia sedang melaut tidak jauh dari bibir Pantai Mali. Setelah hampir semalam suntuk menebarkan pukat di beberapa titik yang berbeda, tidak ada satupun ikan yang berhasil dijaring. Dalam suasana kesal tanpa teman seperahu, akhirnya ia mulai membereskan jala ke atas perahu. Cuaca ekstrim yang ditandai dengan gemuruh petir menggelegar beberapa
kali dan seakan siap menyambar jiwa raganya di malam yang gelap gulita itu, semakin membulatkan tekadnya untuk segera menepi. Tetapi pada saat yang sama, tanpa diduga om Kideng justru disuguhkan peristiwa aneh sekaligus memancing rasa penasaran, ketika melihat seekor mamalia yang belum pernah dijumpai sebelumnya, datang mendekat. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk membunuh binatang langka ini sebagai makanan pengganti ikan.
Namun karena keterbatasan alat tangkap yang dibawa, dan tatapan wajahnya yang mengundang seribu satu tanda tanya, akhirnya ia mengurung niat tidak terpuji itu. Rasa takut yang sempat menghantui om Kideng, perlahan sirnah oleh derasnya hujan yang mengguyur seluruh tubuhnya.
Seiring perjalanan waktu sampai dengan beberapa tahun kemudian, karena seringkali mengalami peristiwa yang sama di tempat yang sama, seolah-olah keberadaan hewan mamalia itu membentengi niat hati setiap yang
“Jol Tang” atau “Penghulu Laut”, julukan lain Sultan Awaludin diakui sebagai seorang ksatria yang memiliki kekuatan gaib. Ia dimakamkan oleh Masyarakat Mali di Pulau Sika, sebuah pulau kecil indah berselimutkan pasir putih dan Hutan Hutan Mangrove, tepat di seberang landasan pacu Bandar Udara Mali, atas permintaan sendiri sekitar empat abad
silam. Dengan kekuatan supranatural yang dimilikinya, ia telah banyak membantu penduduk sekitar, mulai dari ancaman perang sampai dengan bencana kelaparan. Jasa baiknya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan hidup masyarakat sekitar. Makam Sultan Sika, yang berada di tepi pantai Pulau Sika, tetap terjaga utuh dan bahkan telah mengalami proses penataan dan pemugaran beberapa kali. Tidak sedikit orang yang berkunjung ke lokasi tersebut, baik untuk kepentingan wisata belaka maupun untuk mendapatkan kekuatan magis tertentu.
Kisah pertemuan om One, Ketua Forum Komunikasi Nelayan Kabola itu dengan Dugong
yang kini telah berukuran hampir mencapai 3 (tiga) meter, terjadi pada awal Tahun 2000, disusul masyarakat umum lainnya. Sebagai seorang pecinta lingkungan, baginya perjumpaan dengan Dugong bukanlah sebuah
yang secara geopolitik berbatasan laut langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste dan Benua Australia. Kunjungan wisatawanpun kian mengalir, karena ketajaman daya adaptasi yang luar biasa, melalui beragam gaya dan atraksi menarik yang ditunjukkannya.
Dukungan serius Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di bawah kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Pemerintah Kabupaten Alor melalui Festival Panggil Dugong sejak
Tahun 2019 lalu di Lokasi Destinasi Wisata Pantai Mali, terhadap upaya pelestarian sekaligus menjadikannya sebagai event promosi pariwisata favorit kepada dunia internasional, semakin memperkokoh tekat bersama, untuk mewujudkan Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Kabupaten Alor sebagai Destinasi Wisata Super Prioritas.
Meskipun tergolong sangat langka, kabupaten yang pernah menyabet penghargaan “Harmoni Award” dari Kementerian Agama Republik Indonesia pada Tahun 2016, merupakan satu di antara sekian banyak daerah di dunia yang memiliki hewan laut dengan tingkat kecerdasan istimewa. Anugerah Tuhan itu tercurah melalui kehadiran Dugong dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir, tepatnya di wilayah perairan Mali Kelurahan Kabola Kecamatan Kabola. Masyarakat Kabola terutama para nelayan yang tak jarang bertaruh nyawa siang dan malam menerjang ombak dan badai untuk mencari rezeki di wilayah yang berjarak 17 km dari jantung kota Kalabahi, tidak dapat memastikan sejak kapan sesungguhnya habitat Dugong mulai ada di perairan Mali, Pulau Sika dan wilayah laut sekitarnya.
Setidaknya terdapat 2 (dua) tokoh kunci yang berperan dalam upaya membangun
hubungan dengan Dugong yakni saudara Adolof Samasing atau yang familiar dikenal dengan panggilan om Kideng dan Onesimus Laa yang dalam keseharian lebih akrab disapa om One. Keduanya adalah penduduk Kelurahan Kabola yang berdomisili di sekitar area Bandar Udara Mali. Meskipun memiliki pengalaman yang berbeda dalam
peristiwa biasa tetapi merupakan sebuah berkat yang sangat istimewa baik bagi masyarakat maupun daerah yang tersohor karena predikatnya sebagai “Tempat Menyelam Terpopuler” melalui Penghargaan “ Anugerah Pesona Indonesia” pada Tahun 2016. Saat itu, om One sedang berlayar menuju Pulau Sika dalam rangka melakukan penanaman Mangrove. Dalam pelayaran yang sempat disertai hujan lebat dan amukan ombak itulah, tiba-tiba ia berpapasan dengan Dugong. Peristiwa penuh kenangan itu berlangsung begitu singkat. Secara spontan, terucap kalimat pendek dari mulutnya “Ul Wed Lahatala”, dalam bahasa lokal berarti Allah Pencipta Bulan dan Matahari.
Di tengah kepanikan, tanpa peduli dengan derasnya hujan dan deburan ombak, ia memutar kemudi ke berbagai arah hendak menyusuri hewan laut tersebut.
Pencarian hampir memakan waktu 2 jam lamanya, tetapi sasaran yang dituju tidak ditemukan. Meskipun dihantui rasa takut sesaat, keinginan tahu terus melekat dalam
benak om One selama pelayaran menuju Pulau Sika. Waktu terus berlalu, beberapa kali penampakan terus terjadi. Om One pun tak pernah lepas dari kegiatan rutin dengan aktivitas penanaman dan pemeliharaan Mangrove di sekitar pesisir pantai Mali dan Pulau Sikka sampai dengan awal Tahun 2017. Penampakan-penampakan langka yang dialami, menumbuhkan motivasi om One untuk mengenal lebih jauh dan bahkan bersahabat dengan Dugong. Ia memberi nama “Mawar” karena
berkehendak mengunjungi dan menginjakan kaki di Pulau Sika, pulau yang menyimpan sejumlah misteri, maka naluri untuk menaklukkan hewan liar itu semakin tak terbendung. Bermodalkan semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi, om Kideng akhirnya mulai mengumpulkan berbagai informasi terutama dari Warga Masyarakat Kecamatan Kabola. Niat untuk menjinakkan Dugong jantan itu semakin menggelora, ketika beberapa kali menyaksikan peristiwa- peristiwa unik yang terjadi di dunia melalui siaran televisi. Om Kideng yang sehari-hari menghidupi diri dan keluarga dari pekerjaan utama sebagai
nelayan, akhirnya memutuskan untuk fokus membangun komunikasi dengan Dugong selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yakni Bulan Januari sampai dengan Maret Tahun 2016. Berbagai cara dan pola pendekatan dilakukan oleh om Kideng, mulai dari menceburkan diri ke laut sampai dengan berinteraksi dari atas perahu yang dikemudinya seorang diri. Ia rela menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di laut, hanya untuk bertemu dan berusaha membangun kontak fisik dengan Dugong.
Tokoh kunci utama lainnya yang memiliki kontribusi nyata dalam upaya pelestarian Mamalia Dugong adalah Onesimus Laa, juga menyimpan kisah unik untuk ditelisik lebih jauh karena terbungkus pula aroma mistik. Om One, selaku penduduk Mali meyakini bahwa persahabatan yang terjadi antara manusia dengan Dugong tersebut, bukanlah proses interaksi manusiawi semata tetapi lebih daripada itu, diduga juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan Sultan Awaludin keturunan Wali Songo atau yang lazim disebut Sultan Sika.